Internet tidak akan pernah lupa. Atau jika Anda pernah menonton
Criminal Minds, Anda pasti mengingat salah satu kutipannya yang berbunyi
“Internet is forever”.
Tersimpannya data di internet, bagi kita mungkin menganggapnya
sebagai hal yang menguntungkan. Namun, lain cerita bagi sebagian orang.
Salah-satunya, ada yang menganggapnya sebagai teror.
Seorang pria, sebut saja Tuan A, membayar seorang wanita di bawah
umur berumur 16 tahun untuk melakukan hubungan layaknya pada tahun 2011.
Tuan A, ditangkap karena melanggar pasal tentang “Prostitusi Pada
Anak di Bawah Umur” dan didenda sebesar 500 ribu yen, atau sekitar 54
juta rupiah.
Dia bertobat dan mencoba untuk membuka lembar baru dalam hidupnya.
Namun yang menjadi masalah baginya adalah ketika orang mencoba
“menggooggle” namanya di mesin pencari Google, yang muncul di Google
tersebut salah satunya adalah referensi tentang kelakuannya di masa
lalu.
Apakah tidak ada cara lain untuk melupakan dan menghilangkan jejak dari kesalahan di masa lalu?
Apakah kita akan dihantui seumur hidup oleh tindakan kriminal yang sudah kita bayar dan kita tebus?
Itulah yang dialami tuan A. Ia merasa kecewa dan frustasi karena
google menolak untuk menghilangkan rekam jejak kejahatannya yang ia
lakukan waktu itu.
Tuan A, akhirnya menuntut Google pada tanggal 25 Juni 2015. Hal ini
kemudian mendapat dukungan jaksa dari pengadilan di wilayah Saitama
berupa perintah agar Google menghapus rekam kejahatan yang pernah
dilakukan tuan A untuk sementara waktu.
Dalam menghadapi hal tersebut, tentunya google akan mengajukan banding.
Hal yang menyebabkan adanya dukungan terhadap tuan A adalah karena ia
bukan seorang publik figur sehingga informasi yang berkaitan dengannya
tidak memiliki arti sejarah atau sosial.
Namun, Google berargumen bahwa anggota dari komunitas sosial,
khususnya orang tua dari anak yang masih remaja, berhak mengetahui
tentang pelanggaran seksual yang terjadi disekitarnya.
Sebuah undang-undang Jepang tahun 2002 mengatur tentang prosedur bagi
korban fitnah informasi dan dapat menuntut penyedia informasi untuk
menghapus data tersebut. – tapi “fitnah” disini berarti informasi
tersebut palsu yang bukan merupakan kasus Tuan A.
Tapi, bagaimana jadinya jika “benar” atau “salah” itu bukanlah
tentang fakta melainkan sebuah interpretasi? Perlindungan hak privasi
dan rehabilitasi dari seseorang jika dilakukan berlebihan, malah akan
terlihat membatasi kebebasan berbicara.
Ambil contoh lain dari Shukan Post, sebuah penyedia
informasi besar yang menerima permintaan dari sebuah rumah sakit dimana
sebuah kecelakaan medis telah terjadi. Rumah sakit itu telah
menyelesaikan masalah tersebut secara legal, dokter yang bertanggung
jawab sudah bukan staff di rumah sakit itu.
Namun, pencarian di Shukan Post masih memperlihatkan kecelakaan yang pernah terjadi tersebut. Selama tulisan di Shukan Post belum dirubah, rumah sakit itu tidak akan pernah dapat memulihkan reputasinya.
Lalu bagaimana dengan seorang yakuza yang sudah kembali ke jalan yang
benar tapi masih menemukan namanya terhubung dengan geng atau
organisasinya semasa dia masih menjadi yakuza? Atau seseorang yang
pernah dihukum karena mencuri atau melakukan pelecehan seksual?
Mungkin, penyedia layanan seperti Google atau Shukan Post
akan berargumen bahwa para pelanggar atau pelaku tindak kriminal
seharusnya berpikir tentang apa yang akan terjadi pada reputasinya
sebelum melakukan tindak kejahatan.
Pada tahun 2003, sebuah klub yang terdiri mahasiswa dari dua
universitas terkemuka menjadi topik hangat di dalam setiap rumah tangga.
Hal ini terjadi karena 14 orang anggota dari klub tersebut melakukan
pemerkosaan yang dilakukan secara bersama-sama. Nama klubnya adalah Superfree.
Dan salah seorang anggota klub tersebut yang menyatakan bahwa ia
tidak terlibat dalam kejadian tersebut menuntut Google pada tahun 2012
dan meminta agar namanya dihilangkan dari kejadian itu.
Seorang jaksa Pengadilan wilayah Tokyo yang mendengar soal kasus
tersebut kemudian memerintahkan Google untuk membayar orang tersebut
sebesar 300 ribu yen sebagai kompensasi atas reputasinya yang tercemar.
Namun pada tahun 2014, Pengadilan Tingkat Tinggi Tokyo berbalik
mendukung Google. Dan keputusan mengenai kasus ini akan diambil suatu
hari di tahun 2015 ini. (sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar